SEJARAH
SAYYIDINA ALI BIN ABI TALIB
Sayyidina Ali bin Abi Talib adalah salah satu dari sahabat
Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga. Kecerdasannya diakui oleh
Nabi. Dari empatKhulafaurasyidin, hanya Sayyidina Ali yang meninggalkan
karya monumental Najh al- Balagh
Sejarah
membuktikan, bahwa Sayyidina Ali adalah tokoh muda pemberani
masa itu; sebagai ‘tameng hidup’ Nabi ketika berangkat hijrah; membuat ciut
nyali musuh dalam beberapa peristiwa penting; serta penakluk benteng Khaibar.
Kontroversi mengenai dirinya pun tak kalah hebatnya; pengangkatan kekhalifahan
setelah Nabi; kematian Usman bin Affan; pemberontakan dua klompok oposisi,
Aisyah dan Mu`awiyah; hingga terbunuhnya Sayyidina Ali di tangan Ibn Muljam
seorang Khawarij.
Biografi
ini Insya Allah bersih dari segala kepentingan dan tidak memihak salah satu
kelompok mana pun karena ditulis berdasarkan sumber-sumber sejarah yang kuat
dan dapat dipertanggungjawabkan, serta bukan hanya bersifat deskriptif,
melainkan juga studi analisis. Hal tersebut lebih tampak ketika memasuki babak
baru setelah Ali, yakni peristiwa penting kehidupan kedua putranya Hasan
dan Husain. Mengapa terjadi demikian, dan bagaimana akhirnya?
Semua
dikupas tuntas disertai analisis yang tajam dari penulisnya, Ali Audah.
Dia lebih dikenal sebagai sastrawan dan budayawan yang telah mengantarkan empat
seri tokoh sejarah Islam karya Muhammad Husain Haekal, yakni
sejarah Hidup Muhammad, Abu Bakr as-Syiddiq, Umar bin khattab dan Usman bin
Affan. Sehingga dengan hadirnya buku ini, menambah kelengkapan koleksi buku
biografi sebelumnya.
KEUTAMAAN
SAYYIDINA ALI BIN
ABI TALIB
Bulan Rajab adalah bulan kelahiran Sayyidina
Ali kw, karena itu kita akan mengungkap sekelumit dari sisi kehidupan
beliau.Sayyidina Ali adalah sepupu pertama Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Abu
Thalib dab ayah Nabi SAW, Abdullah, adalah anak Abdul Muthalib dari satu ibu.
Seperti nama istrinya, Ibu Sayyidina Ali juga bernama Fatimah. Fatimah adalah
putri Asad putranya Hasyim yang terkenal itu, dan Asad adalah saudara Abdul Muthalib.
Jadi ayah dan ibu Sayyidina Ali adalah saudara sepupu.
Sayyidina Ali lahir pada tanggal 13 Rajab,
sekitar 610 M, yakni 23 tahun sebelum Hijrah. Saat Ali lahir, ayahnya dan
saudara sepupunya, Nabi Muhammad SAW sedang bepergian ke luar kota Makkah.
Ibunya memberi nama Asad dan Haidar. Ayahnya menamainya Zaid. Tapi ketika Nabi
SAW pulang, beliau merawat sepupu kecilnya ini dan menamainya Ali, dan
mengatakan bahwa ini adalah nama yang ditetapkan Allah untuknya. Diantara
sekian kunyah-nya (nama
panggilan yang mengungkapkan rasa hormat), yang paling terkenal adalah Abul Hasan, Abus Sibtain dan Abu
Turab. Gelar-gelarnya adalah Murtadha (yang terpilih), Amirul Mukminin (Pemimpin kaum Mukmin), Imamul Muttaqin (Imam orang-orang bertakwa).
Ibn Abil Hadid, pensyarah kitab Nahjul Balaghah mengutip perkataan Ibn Abbas. Kata
Abbas, “Pernah aku bertanya kepada ayahku: ‘Ayah,
sepupuku Muhammad memiliki banyak anak, yang semuanya meninggal ketika masih
kecil, siapa diantara mereka yang paling dicintai?’ Ayahnya menjawab, “Ali bin Abi Thalib.” Aku berkata, “Ayah, yang aku tanyakan tentang
anak-anaknya?” Dia menjawab, “Nabi Muhammad SAW mencintai Ali
lebih dari mencintai seluruh putranya. Ketika Ali masih kecil, aku tak pernah
melihat dia terpisah dari Muhammad barang setengah jam sekalipun, kecuali kalau
Nabi SAW bepergian untuk beberapa urusan. Aku tidak pernah melihat seorang ayah
mencintai anaknya sebesar Nabi SAW mencintai Ali dan aku tidak pernah melihat
seorang anak sedemikian patuh, sedemikian lengket dan mencintai ayahnya seperti
Ali mencintai Nabi SAW.”
Ali mulai bertindak sebagai pengawal Nabi SAW
bahkan ketika usia 14 tahun. Para pemuda Quraisy, atas anjuran orang tua
mereka, sering melempari Nabi dengan batu. Ali memenuhi tugas sebagai pembela
Nabi. Dia jatuhkan para pemuda itu, merobek hidung satu musuh, merontokkan gigi
musuh lainnya serta membanting yang lainnya. Dia sering bertarung melawan
orang-orang yang lebih tua darinya. Dia sendiri sering terluka, tapi dia tidak
pernah meninggalkan tugas yang dia pilih sendiri. Selang beberapa hari, dia
mendapat nama panggilan Qadhim (pembanting) dan tidak seorang pun
berani melempar sesuatu kepada Nabi ketika Ali mendampinginya dan dia tidak
akan pernah membiarkan Nabi pergi sendirian. Pengorbanannya pada malam
menjelang hijrah dan perjungannya di seluruh medan tempur adalah bukti nyata
kecintaannya yang amat mendalam kepada Nabi SAW.
Allamah Muhammad Mustafa Beck Najib, filosof
Mesir terkenal dan Professor Studi Islam Universitas Al-Azhar, dalam bukunya Himayatul Islam, berkata: “Apa yang bisa dikatakan tentang
Imam ini? Sangat sulit menjelaskan sifat dan watak personal Imam seutuhnya.
Cukuplah kita sadari bahwa Nabi SAW memberinya gelar gerbang ilmu dan hikmah.
Dia pribadi yang paling berilmu, paling berani dan orator ulung serta
penceramah paling fasih. Ketakwaannya, kecintaannya kepada Allah, ketulusan dan
ketabahannya dalam menjalankan agama adalah diantara derajatnya yang begitu
tinggi sehingga tak seorang pun dapat bercita-cita untuk mencapainya. Dia politikus
teragung karena membenci diplomasi dan mencintai kebenaran serta keadilan,
kebijakan politiknya adalah sebagaimana yang diajarkan Allah. Dia dicintai
semua orang, dan setiap orang memberikan tempat di hatinya untuk Imam. Dia
orang yang memiliki karakter begitu unggul dan agung serta watak yang begitu
luhur dan tiada tara, sehingga banyak ilmuwan yang takjub mempelajarinya dan
membayangkannya sebagai manifestasi wakil Allah. Banyak di antara Yahudi dan
Kristen yang mencintai dia, dan para filosof diatara mereka pun yang kebetulan
tahu ajaran-ajarannya membungkukkan diri di depan lautan ilmunya yang tak
tertandingi.”
Sejarawan Islam, Masudi dalam Sirah Al-Halabiyya,
mengatakan: “Jika nama agung
sebagai Muslim pertama, seorang kawan setia Nabi di pengasingan, kawan
seperjuangan Nabi dalam menegakkan keimanan, sahabat karib Nabi dalam kehidupan
dan saudara Nabi. Jika pengetahuan sejati tentang spirit ajaran-ajaran Nabi dan
Al-Quran,jika penegasian ego diri dan penegakan keadilan, kejujuran, kesucian
dan cinta akan kebenaran, kesemuanya layak mendapatkan keagungan, maka kita
harus menganggap Ali sebagai yang paling terkemuka. Kita akan sia-sia mencari
berbagai keistimewaan yang telah dianugrahkan Allah kepada Ali, baik dari
kalangan pendahulunya kecuali Nabi Muhammad atau dari para penerusnya.” Masudi lalu berkata lagi: “Kesepakatan umum diantara para
sejarawan dan teolog Muslim adalah bahwa Ali tidak pernah menjadi non-Muslim
dan tidak pernah sekali pun menyembah berhala. Karenanya, pertanyaan kapan dia memeluk
Islam, tidak dan tidak akan pernah muncul.”
Menikah dengan Sayyidah Fatimah
Sayyidina Ali menikah dengan Sayyidah Fatimah,
putri Nabi SAW dari Sayyidah Khadijah. Dia bertunangan dengan Fatimah beberapa
hari sebelum berangkat Perang Badar, tapi pernikahannya dirayakan tiga bulan
setelahnya. Dari Sayyidina Ali, Fatimah memiliki 4 anak dan yang anak kelima
(Muhsin) mengalami keguguran ketika masih berada dalam kandungan. Penyebab
kecelakaan ini dan juga penyebab kematian Sayyidah Fatimah adalah peristiwa
yang amat tragis dan menyedihkan dalam hidup mereka. Nama putra-putri mereka
adalah Hasan, Husain, Zainab (istri Abdullah ibn Ja’far) dan Ummu Kultsum
(istri Ubaydillah ibn Ja’far). Selama Fatimah hidup, Sayyidina Ali tidak
menikahi wanita lain. Sepeninggal Fatimah dia menikahi Yamamah dan sepeninggal
Yamamah, menikah lagi dengan seorang wanita bernama Hanafia, yang darinya Ali
memiliki seorang anak bernama Muhammad Hanafia. Sayyidina Ali memiliki banyak
anak yang beberapa diantaranya memiliki tempat tak tertandingi dalam sejarah
kemanusiaan, seperti Hasan, Husain (Pahlawan Karbala), Zainab (Pembela Islam di
Kufah dan Damaskus setelah Tragedi Karbala), Abbas (Panglima Tentara Husain)
dan Muhammad Hanafia (Pahlawan dalam Perang Nahrawan).
Sikap Sayyidina Ali Kepada
Musuh
Talha ibn Abi Talha bukan hanya musuh sengit
Islam, tapi juga musuh Nabi SAW dan Sayyidina Ali. Upayanya untuk mencelakakan
kedua orang ini serta misinya sudah menjadi faktahistoris.Dalam perang Uhud, dia adalah pengusung
panji pasukan Quraisy. Ali menghadapi dia dan berduel dengannya, menyerang dia
dengan pukulan telak hingga terhuyung-huyung dan jatuh tersungkur. Ali
meninggalkannya dalam keadaan terjatuh. Banyak panglima Muslim memerintahkan
agar Ali menghabisinya, dengan mengatakan bahwa dia adalah musuhnya yang paling
jahat. Ali menjawab: “Musuh
atau bukan musuh, sekarang dia tidak berdaya, dan aku tidak bisa menyerang
seseorang yang tidak berdaya. Jika dia bisa bertahan biarkan saja dia hidup
selagi masih berumur.” Dalam
Perang Jamal, di tengah pertempuran budaknya Qambar membawa sedikit air dan
berkata: Tuanku, matahari
amat panas dan Anda masih terus akan bertempur, meminum segelas air dingin ini
bisa menyegarkan Anda? Dia
melihat sekitarnya dan menjawab:“Bisakah aku minum ketika beratus-ratus
orang mati terkapar dan sekarat karena kehausan dan terluka parah? Daripada
membawakan air untukku, bawa sedikit orang dan kasih minum setiap orang yang
terluka ini.” Qambar
menjawab: “Tuanku, mereka
semuanya musuh kita.” Dia
berkata: “Mungkin mereka
musuh kita, tapi mereka manusia. Pergilah dan rawat mereka.”
Waktu itu bulan Ramadhan, sudah tiba waktu
shalat subuh. Masjid Kufah sudah penuh. Sayyidina Ali sedang sujud dan ketika
mau mengangkat kepalanya, sebuah tebasan telak mengenai kepalanya yang
membuatnya luka parah. Suasana di masjid menjadi gempar dan kacau. Pembunuh
melarikan diri. Orang-orang berhasil menangkap dan membawanya ke hadapan
Sayyidina Ali yang terluka dan bersimbah darah. Beralaskan sajadah Sayyidina
Ali berbaring diatas pangkuan putra-putranya. Dia tahu tebasan itu sangat fatal
dan dia tidak akan bertahan lagi. Tetapi ketika pembunuhnya digelandang ke
hadapannya, dia melihat jerat yang memborgolnya terlalu kencang hingga menyayat
dagingnya. Ali melirik kepada kaum Muslim dan berkata: “Seharusnya kalian jangan begitu
kejam kepada sesama, kendorkan talinya, tidakkah kau lihat tali ini melukai dia
dan membuatnya kesakitan.”
Peribadatan Sayyidina Ali
Sebagai hasil binaan langsung Rasulullah SAW,
maka sifat-sifat Sayyidina Ali terbentuk persis seperti sifat-sifat Rasulullah
SAW dalam semua seginya,baik ibadah, pemikiran maupun tingkah laku.Ia mengikuti jalan yang ditempuh
Rasulullah SAW dan menapaki jejak-jejak langkahnya. Al-Qusyairi menuturkan
dalam Tafsir-nya bahwa
apabila datang waktu shalat, wajah Sayyidina Ali tampak pucat dan tubuhnya
gemetar. Karena itu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, mengapa begitu.
Ali menjawab, “Telah datang
waktu amanat yang dulu ditawarkan Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
namun mereka menolaknya, dan kemudian diterima oleh manusia sekalipun manusia
ini lemah. Karena itu, aku tidak tahu apakah aku akan bisa memikul amanat itu
dengan baik ataukah tidak.” Sulaiman
ibn Al-Mughirah meriwayatkan dari ibunya, katanya, “Aku bertanya kepada Ummu Sa’id,
seorang jariah Sayyidina Ali tentang Shalat beliau di bulan Ramadhan.” Ummu Sa’id menjawab, ”Ramadhan dan Syawal, sama saja.
Beliau selalu shalat di sepanjang malam.”
Allah SWT begitu agung dalam pandangan
Sayyidina Ali, sehingga ibadah yang dilakukan merupakan ungkapan dari rasa
cinta dan kerinduan kepada-Nya. Beliau mengungkapkan hubungan dirinya dengan
Allah melalui ucapannya yang berbunyi, ”Ilahi,
aku tidak menyembah-Mu lantaran takut siksa-Mu, dan tidak pula berharap akan
pahala dari-Mu. Tetapi aku menyembah-Mu semata-mata lantaran aku mendapatkan-Mu
sebagai Dzat yang semestinya disembah.”
Sayyidina Ali Penghulu Para
Sufi
Dalam sebuah buku yang berjudul Hilyah al-Awliya’,
diceritakan sejarah para sufi (wali) dari seluruh zaman. Ali bin Abi Thalib
menempati urutan pertama. Mengapa harus dimulai dari Ali bin Abi Thalib ?
Bukankah sahabat itu banyak ? Itu disebabkan karena di dalam tasawuf, sahabat
yang menjadi rujukan adalah Sayyidina Ali. Tokoh-tokoh tasawuf di seluruh
negeri Islam bersumber kepadanya
dan berhenti di hadapannya. Pada Ali-lah ilmu
tarekat bersumber dan pada Ali-lah ilmu tarekat berhenti. Hal tersebut
ditegaskan oleh Asy-Syibli, Al-Junayd, Abu Yazid al-Busthami, Abu Mahfuzh
al-Kharkhi, dan lain-lain. Begitulah Sayyidina Ali! Sejarah agung sarat dengan
peristiwa-peristiwa yang menggambarkan keluhuran budi dan perilakunya,
keberanian dan keluasan ilmunya, keutamaan serta kemuliaannya.
Salam
atas Wasyi Rasulullah, Salam atas penghulu Para Wali, Salam atas Putra Ka’bah,
Salam atas Suami Putri Nabi, Salam atas Ayahanda Al-Hasan dan Al-Husain, Salam
atasmu Wahai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kisah Singkat Pedang
Dzulfiqar,Pedang Sayidina Ali bin Abi Thalib
Pedang Dzulfiqar adalah pedang Nabi
Muhammad SAW yang diberikan kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib pada saat perang
Uhud sebagai senjata yang bisa digunakan Ali untuk menumpas pasukan kafir.
Pedang Dzulfiqar memiliki bentuk yang agak melengkung seperti kebanyakan pedang arab, memiliki cabang diujungnya dana ada tulisan kaligrafi arab di bilahnya.
Pedang Dzulfikar beberapa kali menemani Ali dalam perang-perang besar, seperti perang Badar, Ali juga menggunakan Pedang Dzulfikar pada saat perang Parit.
Menurut kabar Pedang Dzulfiqar itu dapat membunuh 40 orang sekaligus, jika ada orang berbaris kebelakang sampai 40 orang dan orang paling depan ditusuk, maka tusukan pedang Dzulfiqar bisa sampai orang ke-40 dari barisan tersebut, dengan begitu Pedang Dzulfiqar juga menjadi salah satu pedang yang paling mematikan dalam sejarah Dunia, sebutan lain untuk pedang Dzulfiqar juga adalah ‘pedang haus darah‘.
Selain Peadang yang dimiliki Sayidina Ali Bin Abi Thalib yaitu pedang Dzulfiqar, ada beberapa pedang lain yang juga sangat mematikan seperti pedang Guojian yang ditemukan di makam Shao Hua di Gunung Jianglingwang, Provinsi Hubei, pedang tersebut berada di dalam peti jenazah dan ditemukan oleh pekerja Arkeolog pada saat melakukan penelitian, meski sudah terkubur ribuan tahun ternyata pedang Guajion tidak berkarat, karena pedang istimewa tesebut terbuat dari tembaga dan perunggu.
Pedang-pedang mematikan lainnya seperti Pedang Excalibur St. Galgano, Pedang Kusanagi no Tsurugi, Pedang Marengo Napoleon, Pedang William Wallace, juga banyak menyita perhatian para pecinta barang antik.
Pedang Dzulfiqar memiliki bentuk yang agak melengkung seperti kebanyakan pedang arab, memiliki cabang diujungnya dana ada tulisan kaligrafi arab di bilahnya.
Pedang Dzulfikar beberapa kali menemani Ali dalam perang-perang besar, seperti perang Badar, Ali juga menggunakan Pedang Dzulfikar pada saat perang Parit.
Menurut kabar Pedang Dzulfiqar itu dapat membunuh 40 orang sekaligus, jika ada orang berbaris kebelakang sampai 40 orang dan orang paling depan ditusuk, maka tusukan pedang Dzulfiqar bisa sampai orang ke-40 dari barisan tersebut, dengan begitu Pedang Dzulfiqar juga menjadi salah satu pedang yang paling mematikan dalam sejarah Dunia, sebutan lain untuk pedang Dzulfiqar juga adalah ‘pedang haus darah‘.
Selain Peadang yang dimiliki Sayidina Ali Bin Abi Thalib yaitu pedang Dzulfiqar, ada beberapa pedang lain yang juga sangat mematikan seperti pedang Guojian yang ditemukan di makam Shao Hua di Gunung Jianglingwang, Provinsi Hubei, pedang tersebut berada di dalam peti jenazah dan ditemukan oleh pekerja Arkeolog pada saat melakukan penelitian, meski sudah terkubur ribuan tahun ternyata pedang Guajion tidak berkarat, karena pedang istimewa tesebut terbuat dari tembaga dan perunggu.
Pedang-pedang mematikan lainnya seperti Pedang Excalibur St. Galgano, Pedang Kusanagi no Tsurugi, Pedang Marengo Napoleon, Pedang William Wallace, juga banyak menyita perhatian para pecinta barang antik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar